Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, begitulah kata Sapardi Djoko Damono dalam puisinya. Juni mengering, Juni yang kerontang, bagaimana bisa hujan bertahan jika Juni bukan pijakannya? Dialah seorang wanita hebat yang berjuang sebagai hujan di bulan Juni. Seorang yang sering kupanggil dengan sebutan “IBU”.
***
“Seandainya ku mampu membuat dirimu kembali, hati ini takkan beku karena
merasa sendiri. Bagai mimpi saat kusadari dirimu kini tiada di sisiku lagi.…….”
Aku tersenyum mendengar alunan lagu yang dinyanyikan seorang wanita yang
tak jauh dari kamarku. Aku yakin kalau suara yang masuk ke gendang telingaku
bukan milik Cucu Suryaningsih atau yang lebih dikenal sebagai Evie Tamala
penyanyi dangdut terkenal itu. Betapa seringnya lagu ini dinyanyikan di rumah,
hingga aku hafal betul milik siapa suara yang ada di balik pintu kamar.
Perlahan ku buka pintu kamarku dan kudapati ibu senang asyik menjahit rok
merah di tangannya sambil suaranya lirih menyenandungkan lagu. Aku menatap ibu
dengan haru dan tak sengaja bulir airmata satu persatu terjun menuruni pipiku.
Cepat-cepat ku seka airmata yang mulai membanjir, aku tak ingin ibu tahu bahwa
aku menangis.
“Sini, Ma. Tolong bantu ibu masukan benang ke jarum. Sudah tua, mata ibu
terkadang tidak jelas melihat lubang sekecil itu.”
Ibu menyodorkan benang merah dan jarumnya ke arahku. Aku langsung duduk
di sebelah ibu dan sibuk dengan jarum di tangan kiri sedang tangan kanan
berusaha memasukan benang ke lubang jarum. Ternyata susah juga karena aku harus
membuat benang tersebut tegak agar mudah memasukannya. Setelah berhasil
memasukan benangnya, ku kembalikan ke ibu.
“Bajunya sobek lagi, Bu?”
“Iya. Tersangkut paku tadi waktu ibu jemur pakaian.”
“Kalau Najma sudah gajian, ibu mau baju model apa? Nanti Najma belikan,”
“Tidak usah, Ma. Baju ibu masih bagus-bagus kok. Meskipun sobek tapi kan
bisa dijahit. Kamu harus tahu bahwa segala sesuatu jika masih bisa diperbaiki
kenapa harus beli baru? Mendingan uangnya ditabung untuk bayar kuliah.” Ibu tersenyum
lembut.
“Iya sih, Bu. Kalau baju sobek sedikit terus langsung beli baru, kasihan
benang sama jarumnya. Nganggur..” Aku tertawa cekikikan dan ibu pun ikut
tertawa.
“Sepertinya mau hujan, Ma. Ayo bantu ibu angkat jemuran baju di
belakang.” Ibu bergegas ke belakang sambil menengok langit lewat jendela. Tampak
awan hitam memenuhi langit sore. Tak lama, air hujan pun turun dengan derasnya
membasahi bumi yang kehausan.
Hujan kembali bertandang tepat di
pertengahan Oktober. Baunya menyeruak memenuhi indra penciumanku. Bau hujan
yang sangat aku suka. Dan ini hujan pertama tanpa ayah di sisi kami.
***
Lamongan, April 2011
“Stroke, Dok??!”
Vonis dokter tentang penyakit ayah membuat ibu tak bisa bernafas sejenak.
Ibu menarik nafas dalam-dalam dan mulai kembali mengatur nafasnya.
“Berapa lama kira-kira suami saya sembuh?”
“Tergantung kondisi pasien, Bu. Semoga dalam tiga hari ini suami ibu
segera sadar. Tapi karena gejalanya sudah mengenai bagian motorik yang mengatur
otak kiri, nantinya pasien akan mengalami badan lumpuh sebelah kanan. Ibu yang
tabah ya..”
Saat itu, ibu hanya terkulai pasrah pada takdir. Siang-malam ibu selalu
bermunajat kepada Allah agar penyakit ayah segera diangkat. Sebagai anak, aku
juga merasa terpukul. Aku baru memasuki kuliah semester tiga dan kuliahku pun
pasti terancam putus. Selama ini hanya ayah yang mencari nafkah untuk kami,
yang menyekolahkanku hingga aku kuliah. Lalu dengan apa aku harus melanjutkan
kuliah jika uang pun aku tak punya.
Pada hari ketiga di rumah sakit, ayah sadar dari komanya. Dan apa yang
dikatakan dokter benar bahwa separoh badan ayah sebelah kanan lumpuh. Bicara
pun masih susah.
***
Desember 2012
“Cepetan tidur, Mah. Besok kamu harus berangkat pagi-pagi kan? Kerja di
hari pertama jangan sampai telat. Nanti belum masuk kerja sudah dipecat.”
“Njih, Bu. Ibu juga cepat
tidur. Lihat bu, Ayah sudah terlelap.” Aku tersenyum melihat ayah tidur dengan
nyenyaknya. Kondisi ayah tetap sama, sebelah kanan tubuh ayah masih tidak bisa
digerakkan. Tapi ayah sedikit demi sedikit sudah bisa berjalan meski harus
menggunakan tongkat. Dan ibu kini menggantikan ayah mencari nafkah, setiap
selepas subuh ibu pergi ke rumah Mbak Alya membantu memasak dan mencuci. Gaji yang
didapat memang tidak seberapa dibandingkan Ayah dulu. Tapi semangat ibu sungguh
sangat luar biasa. Uang hasil mencuci separuhnya dikumpulkan untuk biaya
kuliahku dan pengobatan ayah yang tidak murah. Selebihnya untuk makanan
sehari-hari kami.
Aku dapat pekerjaan menjadi seorang Customer Service di sebuah perusahaan
kecantikan di Surabaya. Aku tidak ingin membebankan uang kuliahku pada ibu.
Cukup, aku tak ingin melihat ibu menderita dari ini.
“Lanjutkan sekolah kamu, Mah. Insyallah ibu kuat membiayainya sampai kamu
jadi sarjana.”
Kalau ibu sudah berkata seperti itu, aku tak kuat jika tidak memeluk
tubuh ibu. Sedangkan ayah, terkadang aku mengetahui diam-diam ayah menangis
setiap pagi melihat ibu keluar rumah untuk bekerja sebagai pembantu rumah
tangga.
***
Oktober 2012
Ambulan putih itu pelan-pelan berhenti di gang paling ujung, tepat di
depan rumahku. Lapat-lapat suara-suara tetangga semakin terdengar menusuk
gendang telingaku. Aku mencoba menepisnya dengan kedua telapak tanganku karena
aku percaya ini hanya mimpi. Sedangkan air mataku sudah satu jam lebih terurai
bebas melewati pipi.
“Ayahmu sudah meninggal, Mah.”
Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa kabar itu bohong tapi ku lihat
nenek memelukku erat sambil menangis. Tangisku semakin pecah.
“Sabar, Nduk. Semua yang hidup
pasti akan meninggal. Semua milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ayo sekarang
kita siapkan tempat untuk memandikan jenazah ayahmu.” Mbak Inah tetangga
sebelah rumah tak henti-henti menghiburku.
Gerimis tiba-tiba turun tanpa diundang, seperti ikut merasakan betapa
sakitnya ditinggalkan orang terkasih. Perlahan, mobil ambulan dibuka dan
tenggorokannku tercekat. Tangisku tertahan saat di depan mataku ayah tak lagi
membuka matanya.
Bagaimana aku bisa percaya bahwa ayah telah tiada? Sedangkan tadi pagi
masih ku lihat senyum indahnya?
Aku
tak pernah menyangka bahwa pagi itu adalah hari terakhir aku mendengar ayah
bicara. Melihat ayah tersenyum saat aku naik becak menuju stasiun.
Sekitar
jam 1 siang saat aku berada di kantor, handphoneku bergetar. Ada pesan singkat
dari teman kosku. Pesannya buat aku langsung shock. Ayah sedang di rawat di
rumah sakit.
Dalam
perjalanan pulang, handphoneku selalu berdering. Pamanku memberi kabar bahwa
ayah kritis. Aku sampai di Lamongan sekitar jam 4 sore.
Ruang
UGD. Sebuah ruang yang akan selalu ku ingat setiap ke rumah sakit Muhammadiyah
Lamongan. Ibu tiada henti-hentinya menangis dan membacakan ayat-ayat al-quran
di telinga ayah. Ibu menyuruhku melantunkan ayat-ayat al-quran agar ayah segera
sadar.
Aku
pingsan di samping bapak karena aku tak kuat dengan semuanya. Aku dibawa bibiku
pulang ke rumah. Dan baru sampai rumah, ada kabar bahwa ayah menghembuskan
nafas terakhirnya. Pergi meninggalkan kami. Meninggalkan untuk selamanya. Tepat
jam 8 malam pada Sabtu, 27 Oktober 2012 ayah pulang ke Rahmatullah.
***
September 2013
“Ibu…aku lulus!!”
Aku berteriak memanggil-manggil ibu yang sedang memasak di dapur.
“Najma lulus, Bu.”
Seketika itu ku lihat air mata menyeruak turun membasahi pipi ibu. Senyum
kebanggaan terpancar dari bibirnya. Aku tak pernah melihat ibu sebahagia ini
semenjak ayah meninggal.
“Alhamdulillah. Akhirnya kamu jadi sarjana, Najma. Ayahmu pasti bangga
melihatmu memakai baju toga.”
Entah setelah mendengar nama ayah, tangisku pecah. Kami berpelukan sangat
lama.
“Terima kasih, Bu. Semua atas semangat dan perjuangan ibu hingga Najma
bisa lulus kuliah. Aku sayang ibu.”
“Ibu juga selalu sayang kamu, Sayang. Berjanjilah sama ibu untuk
mempergunakan ilmumu dengan baik. Janji?”
Aku menganggukan kepala dan kembali membenamkan kepalaku ke leher ibu. Aku janji tak akan mengecawakanmu, ibu.
#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPharike-1
#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#ODOPharike-1
Post a Comment